Indonesia Diprediksi Alami Krisis Air Bersih Tahun 2045, Kok Bisa?

Sungai 03 Sep 2025 333 kali dibaca
Gambar Artikel Ilustari krisis air bersih | Sumber foto: Canva

LingkariNews–Air merupakan kebutuhan vital semua makhluk hidup di bumi. Namun, bagaimana bila bumi mengalami krisis air? Sebagai negara kepulauan, dimana sumber air mudah didapatkan, apakah Indonesia bisa terbebas dari krisis air?

Pada tahun 2020, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melaporkan bahwa pada 2045 beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami krisis air bersih. Proporsi luas wilayah yang mengalami kelangkaan air meningkat dari 6 persen pada tahun 2000 diprediksi menjadi 9,6 persen pada tahun 2045.

Ternyata Banyaknya Bangunan, Sebabkan Krisis Air Bersih 

Alih fungsi lahan yang masif, sedimentasi sungai, dan dampak perubahan iklim menjadi tiga faktor utama yang mempercepat krisis air bersih di Indonesia. Jumlah penduduk yang terus bertambah, juga menjadi tantangan ketersedian air bersih semakin kompleks. 

Guru Besar IPB University, Prof. Etty Riani, menyampaikan bahwa pengelolaan lingkungan yang tidak tepat–seperti konversi hutan, rawa, dan danau menjadi kawasan terbangun–membuat air hujan tidak lagi meresap ke tanah, melainkan langsung mengalir ke sungai dan bermuara ke laut. Bahkan, ekosistem mangrove dan padang lamun di pesisir juga banyak yang hilang akibat reklamasi. 

Selain itu, alih fungsi lahan juga terjadi di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS). Di kawasan perkotaan, sempadan sungai kerap diubah menjadi area terbangun. Ia menekankan bahwa perubahan fungsi lahan tersebut umumnya menyebabkan air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir (run off) ke sungai dan akhirnya mermuara ke laut. 

“Ketika sungai meluap, semestinya luapan air itu masuk ke sempadan sungai. Namun, karena sempadan sungai menjadi bangunan, maka air akan melimpas langsung ke daratan dan menyebabkan bencana banjir,” ungkap Prof. Etty Riani.  

Kondisi ini diperparah dengan adanya penyempitan alur sungai karena sedimentasi, erosi akibat pembukaan lahan, serta tumpukan sampah yang menyebabkan berkurangnya kapasitas tampung aliran sungai. 

Fenomena ini bukan sekedar ancaman di masa depan, melainkan dampak yang kian terasa melalui banjir yang kerap melanda perkotaan hingga menurunnya kualitas air sungai. 

Prof. Etty menjelaskan bahwa situasi ini semakin kritis akibat dampak perubahan iklim yang memengaruhi frekuensi dan intensitas hujan. Beberapa teori menunjukkan bahwa curah hujan bulanan dapat meningkat hingga 40 persen karena perubahan iklim. 

Perubahan iklim yang terjadi turut memicu terjadinya fenomena La Nina dengan frekuensi yang lebih sering dari biasanya, yang seharusnya terjadi setiap dua hingga tujuh tahun.

Ini yang Perlu Dilakukan Menurut Pakar Ahli 

Sebagai solusi, ia menekankan pentingnya kesadaran kolektif dan konsistensi, bukan sekedar proyek sesaat. Upaya yang dapat dilakukan antara lain; membudayakan hemat air dan energi, memanfaatkan teknologi pengelolaan air, membangun waduk, embung, serta hutan kota, dan melakukan penghijauan kembali. Mengurangi emisi gas rumah kaca melalui gaya hidup baik sederhana–seperti berlajalan kaki, hemat listrik, dan mengunakan energi terbarukan–juga menjadi bagian dari langkah strategis.

(NY)

Sumber:  

https://www.ipb.ac.id/news/index/2025/04/tahun-2045-indonesia-alami-krisis-air-bersih-pakar-ipb-university-ingatkan-hal-ini-di-hari-bumi/