BRUIN Rilis Data Sensus Sampah Plastik Terbesar di Indonesia

Sungai 30 Jun 2025 482 kali dibaca
Gambar Artikel Ilustrasi sampah plastik yang sebabkan polusi pada sungai

LingkariNews – Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) merilis data Sensus Sampah Plastik yang diklaim sebagai audit paling akurat dan komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia. Selama tiga tahun (2022–2024), BRUIN menghimpun data dari 92 titik lokasi yang tersebar di 49 kabupaten/kota di 30 provinsi. Sebanyak 976 relawan dan 156 mitra terlibat dalam proses pengumpulan 76.899 unit sampel. Mayoritas pengambilan sampel dilakukan di ekosistem perairan yang mencakup 35 sungai, 17 pantai, dan dua kawasan mangrove.

Riset ini menjadi dasar penting untuk memahami skala persoalan dan pola sebaran limbah yang selama ini sulit dipetakan secara menyeluruh. Hasil temuan kemudian dirangkum dalam buku Sensus Sampah Plastik: Mengungkap Fakta, Menggerakkan Aksi yang dirilis BRUIN. 

Sampah Kemasan Dominasi Polusi Perairan Indonesia

Riset BRUIN mengungkap bahwa pencemaran di perairan Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Dari 35 sungai yang dipantau di 30 provinsi, tak satu pun yang tercatat bebas dari sampah. Lebih lanjut, data sensus menunjukkan bahwa 33 persen sampah plastik yang ditemukan berasal dari kemasan bermerek, terutama dalam bentuk sachet, botol minuman, dan kemasan makanan siap saji. Sementara itu, 23 persen sisanya merupakan limbah tanpa merek seperti kantong kresek, styrofoam, sedotan, dan tali plastik.

Sampah memang telah lama menjadi persoalan lingkungan di Indonesia. BRUIN mencatat bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 3,2 juta ton sampah plastik setiap tahun yang dilepaskan ke wilayah perairan. Dari jumlah tersebut, hampir 60 persen berasal dari industri makanan dan minuman.

Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang memperburuk kondisi ini, yaitu: lemahnya sistem pengelolaan sampah padat, khususnya di kawasan timur Indonesia; penggunaan plastik sekali pakai yang masih tinggi; serta rendahnya nilai ekonomis dari residu plastik seperti sachet dan styrofoam. 

Regulasi Diperlukan, Produsen Tak Bisa Lepas Tangan

Berdasarkan temuan di lapangan, BRUIN menggarisbawahi perlunya regulasi yang lebih tegas dari pemerintah dalam mengendalikan pencemaran lingkungan. Pengelolaan sampah plastik tidak dapat hanya mengandalkan perubahan perilaku konsumen semata.

“Para produsen plastik dituntut untuk mengambil langkah nyata dalam mengelola sampah kemasan pasca konsumsi serta mendukung target pengurangan sampah oleh produsen sebanyak 30 persen di tahun 2029 mendatang,” ujar Prigi Arisandi, aktivis lingkungan, peneliti senior, sekaligus founder  ECOTON Foundation

Kepala Departemen Teknik Lingkungan ITS, Susi Agustina Wilujeng, turut menekankan pentingnya kebijakan yang menekan produsen agar bertanggung 

jawab atas dampak lingkungan dari produk mereka. “Jangan hanya bergantung pada perubahan perilaku konsumen. Yang lebih penting adalah kebijakan tegas yang memaksa produsen bertanggung jawab atas dampak yang mereka timbulkan,” seru Dr. Susi Agustina Wilujeng , ST., MT.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, yang menegaskan dukungan terhadap penguatan regulasi pengelolaan limbah dalam Pameran Lingkungan Hidup bertema End Plastic Pollution, 22 Juni lalu. Hanif mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mendorong industri lokal mengelola limbah dan membangun sistem hukum yang mewajibkan penerapan Extended Producer Responsibility (EPR), disertai sanksi administratif hingga pidana bagi pelanggarnya.

Regulasi Pengelolaan Sampah yang Ada Belum Efektif

Sebenarnya, pemerintah telah menerbitkan regulasi yang mewajibkan produsen mengelola sampah plastik yang mereka hasilkan, terutama untuk jenis yang tidak dapat terurai secara alami. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. 

Namun, pelaksanaan aturan ini masih jauh dari kata efektif. Tingkat partisipasi produsen dan masyarakat relatif rendah, sementara pengawasan dan penegakan sanksi belum berjalan optimal. Banyak produsen justru memilih mempertahankan penggunaan plastik dengan sedikit perubahan, alih-alih beralih ke kemasan ramah lingkungan.

“Produsen cenderung mempertahankan penggunaan plastik dengan sedikit modifikasi, bukannya mencari alternatif produk ramah lingkungan atau menerapkan guna ulang,” jelas Aeshnina Azzahra Aqilani, salah satu kolaborator Sensus Sampah Plastik dari River Warrior Indonesia.

Strategi Melawan Pencemaran Plastik

Atas temuannya ini, BRUIN menyerukan kepada pemerintah untuk menutup keran polusi plastik dengan merekomendasikan 6 strategi utama untuk melawan pencemaran plastik, yaitu:

  1. Pembatasan plastik sekali pakai yang sulit didaur ulang, seperti kemasan sachet.

  2. Penerapan model guna ulang (reuse movement) untuk mengurangi volume limbah kemasan.

  3. Disinsentif pajak bagi produk plastik sekali pakai yang tidak mudah terurai.

  4. Insentif bagi inisiatif pengelolaan plastik yang lebih berkelanjutan.

  5. Kebijakan pengadaan hijau (green procurement) dalam penggunaan produk ramah lingkungan oleh instansi pemerintah dan industri.

  6. Penegakan tanggung jawab produsen melalui implementasi Extended Producer Responsibility (EPR) secara tegas dan menyeluruh.

Langkah-langkah ini dinilai penting untuk memutus aliran polusi sampah plastik dari hulu dan tidak hanya bergantung pada perilaku konsumen.

 

(KP/NY)

Sumber: 

https://www.sinarharapan.net/riset-bruin-mengungkap-dalang-pencemaran-sampah-plastik-di-30-provinsi-di-indonesia/

https://www.cakrawala.co/lingkungan/77515433195/bruin-rilis-hasil-riset-sensus-sampah-plastik-hasil-audit-tiga-tahun?page=2

https://timesindonesia.co.id/peristiwa-daerah/544275/peneliti-bruin-luncurkan-buku-sensus-sampah-plastik-perjalanan-tiga-tahun-telusuri-perairan