LingkariNews–Dinilai memiliki potensi besar bagi komoditas sumber daya laut, budidaya abalon menjadi rencana strategis di wilayah pesisir Gunungkidul. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai, empat dari tujuh spesies abalon yang tersebar di Indonesia ditemukan di wilayah laut Gunungkidul.
Dwi Eny Djoko Setyono, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN, menyampaikan spesies yang ditemukan antara lain Haliotis Asinina, Haliotis Squamata, Haliotis Varia, dan Haliotis Ovina.
Potensi Besar untuk Pangan, Kesehatan, dan Industri Kreatif
Abalon memiliki potensi strategis yang dapat dimanfaatkan secara luas di berbagai sektor, mulai dari pangan bergizi, bahan baku farmasi, hingga inovasi kosmetik. Oleh karena itu, abalon sangat diminati pasar internasional seperti Cina, Hongkong, Korea, Singapura, dan wilayah Eropa.
Menurut Djoko, hasil analisis menunjukkan bahwa dalam setiap 100 gram daging abalon terkandung sekitar 20 gram protein. Kandungan ini menjadikannya sebagai salah satu sumber protein hewani berkualitas tinggi. Abalon memiliki nutrisi penting seperti omega-3 dan omega-6, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B12, dan E, hingga kandungan zinc yang bermanfaat bagi kesehatan.
“Daging abalon mengandung vitamin A, B12, dan E, yang dapat mendukung kesehatan mata, saraf, dan kulit. Vitamin E yang tinggi berkontribusi pada kesehatan kulit dan perlindungan terhadap radikal bebas. Sementara seng (zinc) meningkatkan antibodi tubuh,” jelas Djoko.
Lebih dari sekedar bahan pangan, bagian lain dari abalon pun menyimpan potensi besar. Djoko menjelaskan bahwa isi perut abalon mengandung enzim-enzim aktif yang bermanfaat secara biologis. Sementara itu, lendir abalon memiliki sifat anti-inflamasi dan anti-endema, yang membuka peluang besar dalam pengembangan produk farmasi dan kosmetik.
“Karena itu, abalon bernilai aset strategis untuk sektor pangan, kesehatan, dan industri kreatif karena bernilai ekonomi tinggi dan kandungan gizi luar biasa,” ungkap Djoko.
Tantangan Budidaya Abalon
Meski memiliki potensi besar, budidaya abalon juga memiliki tantangan besar. Tingginya gelombang laut, yang merupakan ciri khas pesisir selatan Pulau Jawa–menjadi kendala utama dalam menentukan lokasi budidaya yang aman.
Selama ini, abalon hanya diperoleh dari hasil tangkapan nelayan. Populasinya terus menurun akibat pencemaran dan kerentanannya terhadap predator. Namun, di sisi lain permintaan terus meningkat, budidaya menjadi alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan abalon secara berkelanjutan.
“Saat ini, nelayan hanya bisa menangkap abalon saat air laut surut panjang, yaitu saat purnama dan bulan gelap. Sehingga, pasokan abalon sebegai bahan kuliner di Gunungkidul tidak konsisten,” ucapnya.
Sebagai upaya menghadapi tantangan tersebut, Djoko mengusulkan solusi berbasis keberlanjutan.
“Kita perlu menerbarkan benih sebanyak mungkin melalui restocking. Lalu, mengatur regulasi agar nelayan hanya menangkap abalon yang ukuran panjang cangkangnya lebih dari 5 cm. Karena pada ukuran tersebut, abalon sudah bertelur dan berkontribusi terhadap proses regenerasi populasi di alam,” jelasnya.
Dengan mengedepankan budidaya terkontrol, penebaran bening ulang, dan pengaturan penangkapan, Djoko berharap abalon tidak sekedar menjadi komoditas, melainkan peluang menyeimbangkan kesehjateraan masyarakat serta kelestarian laut dan wilayah pesisir Gunungkidul.
(NY)
Sumber:
https://www.brin.go.id/news/124710/4-dari-7-spesies-abalon-di-laut-gunungkidul-tinggi-protein-dan-anti-aging
https://dkpp.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/kerang-bercangkang-tunggal-abalon-71