LingkariNews–International Sugar Organization (ISO) merilis estimasi untuk neraca gula global musim 2025/26. Berdasarkan laporan tersebut, defisit gula global diperkirakan hanya sebesar 0,231 juta ton, jauh lebih rendah dibandingkan defisit besar pada musim 2024/25 yang mencapai 4,879 juta ton.
Menurut ISO, defisit kali ini tergolong tidak signifikan. Artinya, industri gula global tengah memasuki fase stabil. Produksi meningkat, konsumsi tumbuh, dan perdagangan internasional menunjukkan keseimbangan baru.
Produksi dan Konsumsi Gula Global Naik
Produksi gula global pada 2025/26 diperkirakan mencapai 180,593 juta ton, naik 5,519 juta ton dibandingkan musim sebelumnya. Peningkatan terbesar berasal dari India, Thailand, dan Pakistan yang mencatat pertumbuhan produksi berkat kondisi cuaca yang lebih baik dan dukungan kebijakan pemerintah.
Sementara itu, konsumsi global juga tumbuh menjadi 180,824 juta ton, meningkat 0,771 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Permintaan yang meningkat dari pasar Asia dan Afrika menjadi pendorong utama konsumsi gula dunia. Dengan selisih kecil antara produksi dan konsumsi, pasar gula global diperkirakan memasuki fase pasokan yang relatif seimbang.
Sebagai salah satu negara produsen dan konsumen gula di kawasan Asia, Indonesia turut menghadapi tantangan tersendiri dalam menjaga stabilitas produksi di tengah perubahan iklim dan dinamika tenaga kerja sektor pertanian.
Produksi Dalam Negeri (Indonesia)
Ketua Umum GAPGINDO, Syukur Iwantoro, memperkirakan produksi gula dalam negeri pada tahun 2025 akan berada di kisaran yang sama dengan tahun 2024, yaitu sekitar 2,4 juta ton, atau paling tinggi mencaoai 2,5 juta ton. Faktor utama yama memengaruhi kondisi ini adalah iklim.
Musim kemarau basah yang berlangsung selama masa panen tebu 2025, khususnya wilayah sentra tebu di Pulau Jawa, menjadi kendala utama. Selain itu, keterbatasan tenaga kerja untuk tebang tebu semakin sulit dan mahal, serta belum berkembangnya penggunaan alat mesin panen yang sesuai dengan kondisi lahan tebu daerah produksi, turut menekan hasil produksi. Meskipun produktivitas tebu per hektare meningkat, rendemen atau kadar gula yang dihasilkan justru mengalami penurunan cukup signifikan.
Akibatnya, laju peningkatan produksi gula pada 2025 diperkirakan tidak akan setinggi tahun 2024. “Pada tahun tersebut, kondisi cuaca yang ideal–dengan musim hujan normal saat penanaman dan pertumbuhan tebu, serta kemarau kering saat panen–mendukung peningkatan produksi yang lebih optimal,” jelas Syukur.
Perdagangan Gula Dunia Tetap Stabil
ISO memperkirakan volume ekspor global pada 2025/26 mencapai 63,890 juta ton, naik tipis dari 63,323 juta ton pada 2024/25, tetapi masih di bawah rekor 69,342 juta ton pada 2023/24.
Impor global diperkirakan mencapai 63,768 juta ton, sehingga arus perdagangan bersifat netral, tanpa surplus atau defisit signifikan. Statistik 2024/25 menunjukkan surplus kecil sebesar 0,656 juta ton, menandakan bahwa keseimbangan pasokan di pasar internasional mulai membaik.
Stok Global Menurun
Defisit yang berlanjut sejak 2019/20 membuat stok akhir global terus menurun. Untuk 2025/26, total stok akhir diproyeksikan hanya 92,489 juta ton, turun lebih dari 10 juta ton dibandingkan 2019/20. Rasio stok akhir terhadap konsumsi juga menurun menjadi 50,95%, sekitar 10% di bawah rata-rata enam musim terakhir.
Meskipun begitu, ISO menilai prospek harga untuk beberapa bulan ke depan cenderung netral ke bullish. Aktivitas spekulan di pasar berjangka masih tinggi, dengan posisi net-short mencapai 151.004 lot (sejitar 7,7 juta ton gula) pada Agustus 2025.
Namun, meningkatnya produksi dan stabilnya perdagangan kemungkinan akan menahan lonjakan harga dalam jangka menengah.
Secara keseluruhan, laporan ISO menunjukkan peralihan menuju keseimbangan sturktural dalam pasar gula dunia. Dengan kenaikkan produksi di Asia, konsumsi yang stabil, dan perdagangan relatif seimbang, defisit gula global 2025/26 menjadi defisit terkecil dalam enam tahun terakhir.
Kondisi ini memberi sinyal positif bagi pasar, karena tekanan harga akibat kekurangan pasokan mulai mereda. Sehingga membuka peluang bagi stabilitas jangka panjang di sektor gula internasional.
(NY)