Tantangan dan Peluang Swasembada Gula 2030

Gula 27 Jun 2025 324 kali dibaca
Gambar Artikel Ilustrasi panen tebu

LingkariNews Melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023, Pemerintah Indonesia dengan menetapkan target swasembada gula pada 2030. Kebijakan ini dibuat karena melihat tren konsumsi gula nasional yang terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian, rata-rata kebutuhan gula nasional mencapai 7,3 juta ton per tahun. Angka ini belum termasuk permintaan dari sektor industri seperti monosodium glutamat dan pakan ternak.

Sayangnya, produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan itu dan masih mengalami fluktuasi. Pada 2022 misalnya, produksi gula nasional tercatat 2,4 juta ton. Angka ini justru turun menjadi 2,3 juta ton pada 2023, dan naik kembali menjadi 2,4 juta ton di tahun 2024. Ketimpangan antara tingkat produksi dan konsumsi gula nasional selama ini diatasi melalui kebijakan impor. Namun karena gula merupakan komoditas konsumsi strategis, impor tidak dapat dijadikan solusi jangka panjang. 

Tantangan Swasembada Gula 2030

Target swasembada gula pada 2030 merupakan bagian dari upaya strategis pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun dalam upaya untuk mewujudkannya, terdapat sejumlah tantangan yang bersifat struktural dan teknis. Tantangan-tantangan tersebut meliputi:

  1. Rendahnya Rendemen dan Efisiensi Produksi

Tingkat rendemen tebu di Indonesia masih tergolong rendah, yakni hanya sekitar 5–6 persen. Angka ini jauh dibawah angka rendemen gula ideal yang berkisar antara 8-12%. Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya rendemen tebu nasional adalah banyaknya pabrik gula dibawah pengelolaan BUMN yang sudah berusia tua. Akibatnya, proses pengambilan gula dari tebu jadi kurang maksimal dan banyak hasil yang terbuang.

  1. Tebu Indonesia Masih Kurang Kompetitif

Secara rata-rata, produktivitas tebu Indonesia hanya 71 ton per hektare. Angka ini lebih rendah dibanding Tiongkok (94 ton/ha), Australia (85 ton/ha), dan India (78 ton/ha). Ini memperlihatkan kesenjangan teknologi dan manajemen budidaya gula Indonesia dengan negara-negara penghasil gula lainnya. Tanpa perbaikan di sektor hulu ini, target swasembada gula akan sulit dicapai.

  1. Produktivitas Lahan yang Tidak Sejalan dengan Kenaikan Luas Areal

Meski luas areal tebu meningkat dari 469.000 hektare (2013) menjadi 524.000 hektare (2022), produktivitas gula nasional justru turun. Data menunjukkan terjadi penurunan produksi gula dari 2,55 juta ton pada 2013, menjadi 2,3 juta ton pada 2023. Ini menandakan masalah produktivitas yang belum terselesaikan.

  1. Ketimpangan Sistem Pengelolaan Lahan

Mayoritas lahan tebu dikelola oleh petani rakyat. Namun, keterbatasan akses terhadap teknologi modern, pembiayaan, dan pembinaan teknis menyebabkan produktivitasnya tidak optimal.

Langkah Strategis Menuju Swasembada Gula

Untuk mencapai target swasembada gula pada 2030, dibutuhkan serangkaian langkah strategis yang terencana dan terkoordinasi lintas sektor. Beberapa langkah yang bisa dilakukan meliputi:

  1. Revitalisasi Pabrik Gula dan Teknologi Produksi

Sebagian besar pabrik gula di bawah pengelolaan BUMN sudah berusia tua. Revitalisasi diperlukan untuk meningkatkan rendemen tebu yang saat ini masih rendah. Teknologi modern memungkinkan proses ekstraksi yang lebih optimal dan minim kehilangan hasil, sehingga meningkatkan output tanpa harus menambah volume tebu.

  1. Penguatan Sistem Hulu-Hilir Gula

Rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien menyebabkan ketimpangan harga dan pasokan antardaerah. Penguatan sistem ini diperlukan agar produksi petani dapat terserap maksimal dan harga tetap stabil. Badan Pangan Nasional (Bapanas) sendiri terus mendorong penguatan sistem hulu-hilir melalui perbaikan proses produksi di tingkat petani hingga distribusi ke konsumen. Pendekatan ini penting guna memastikan kelancaran pasokan dalam negeri sebagai fondasi swasembada gula.

  1. Perluasan dan Pengelolaan Lahan Tebu

Perluasan areal tebu hingga 1,2 juta hektare sesuai Perpres 40/2023 harus dibarengi manajemen lahan yang produktif dan berkelanjutan. Lahan yang luas saja tidak cukup tanpa peningkatan efisiensi dan hasil per hektare.

  1. Pemberdayaan Petani dan Rasionalisasi Pengadaan Impor

Petani rakyat sebagai penyumbang terbesar produksi gula membutuhkan pendampingan teknologi, akses permodalan, dan kepastian harga. Pada saat yang sama, pengadaan impor perlu dirasionalisasi dan disesuaikan dengan kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun industri agar tidak menekan harga tebu lokal. Langkah ini penting agar petani tetap bergairah berproduksi.

  1. Optimalisasi Lembaga Pengelola Gula

Pabrik-pabrik gula swasta memiliki potensi besar dalam menerapkan inovasi teknologi modern. Mendorong investasi swasta di industri gula akan membuka ruang bagi pabrik-pabrik gula untuk mengembangkan pengelolaan yang lebih efisien dan berbasis inovasi teknologi. Inovasi ini menjadi kunci peningkatan produktivitas dan kualitas, baik pada tahap pengolahan tebu maupun hasil akhir berupa gula.

Untuk mewujudkan itu, pemerintah perlu menunjukkan komitmen melalui kebijakan yang jelas dan konsisten dalam jangka menengah dan panjang. Kepastian ini penting agar investor merasa aman untuk berinvestasi. Jika suasana usaha sudah mendukung, investor dari dalam maupun luar negeri akan lebih tertarik untuk masuk ke industri gula Indonesia.

Kepastian usaha tersebut penting agar sektor industri gula menarik bagi investor, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk terlibat aktif dalam pengembangan industri gula nasional.

Target swasembada gula 2030 masih menghadapi berbagai tantangan. Namun dengan langkah strategis yang terarah dan berkelanjutan, target itu bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Untuk wawasan lain seputar pertanian berkelanjutan dan kebijakan pangan, kunjungi lingkarinews.id.

(KP/NY)

Sumber:

 https://perkebunan.bsip.pertanian.go.id/berita/harapan-dan-tantangan-swasembada-gula

https://news.majalahhortus.com/news-majalahhortus-com-swasembada-gula-bapanas-dorong-erbaikan-rantai-hulu-hilir/