Aktivitas tambang nikel di Pulau Gag. Sumber: Greenpeace
LingkariNews – Eksplorasi yang berujung eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, berpotensi merusak ekosistem laut maupun kehidupan masyarakat setempat. Belum teratasi secara tuntas kerusakan akibat tambang nikel di Morowali, Konawe Utara, Kabanea, Wawonii, Halmahera, dan Obi, tambang nikel sudah mau menyentuh Raja Ampat. Alih-alih menggaungkan transisi energi, tambang nikel yang produktif, berpeluang rusak alam secara masif.
Ironi Transisi Energi: Tambang Nikel Berpotensi Rusak Raja Ampat
Pada 3/6/25, Greenpeace melakukan aksi damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 – menyampaikan persoalan hilirisasi tambang nikel yang membawa potensi kerusakan bagi kehidupan setempat. Konferensi tersebut dihadiri oleh Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno dan pengusaha industri nikel untuk membahas mengenai rencana pengembangan industri nikel.
Lonjakan tren kendaraan listrik mendorong perluasan eksploitasi tambang nikel secara ugal-ugalan. Aktivitas pertambangan, seperti membabat hutan, pembuangan limbah tambang yang mencemari air, laut, udara, menjadi pemicu kerusakan ekosistem yang ada.
Dari penelusuran Greenpeace, tahun lalu, ditemukan aktivitas tambang nikel yang berlangsung di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawei, dan Manuran. Ketiga pulau tersebut termasuk dalam kategori pulau kecil yang secara hukum seharusnya terlindungi dari aktivitas pertambangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Operasi tambang di wilayah tersebut telah menyebabkan kerusakan ekologis yang signifikan. Lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alam khas Papua lenyap akibat pembukaan lahan. Tanah hasil pengerukan mengalir ke pesisir, menimbulkan sedimentasi yang berpotensi tinggi merusak ekosistem terumbu karang dan biota laut khas Raja Ampat. Dan ancaman ini belum berhenti – Pulau Batang Pele dan Manyaifun kini juga menghadapi nasib serupa – dua pulau kecil lainnya yang berjarak 30 kilometer dari Piaynemo.
Ronisel Mambrasar, pemuda lokal yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, menyuarakan keresahan masyarakat. Menurutnya, tambang nikel tidak hanya mengancam laut yang selama ini menghidupi mereka, tetapi juga berdampak pada tatanan harmoni sosial antar kelompok.
Mengapa tambang nikel berpotensi merusak raja ampat? Sebab, Surga Terakhir di Bumi ini menyimpan 75% spesies terumbu karang dunia, 2.500 jenis ikan, 47 spesies mamalia, dan 274 spesies burung yang perlu dijaga keseimbangan ekosistem di dalamnya. Maka dari itu, tindakan preventif perlu dilakukan.
Keadilan Selamanya untuk Raja Ampat
Aktivitas tambang tidak pernah lepas dari polemik; perizinan operasi, eksploitasi sumber daya alam, pembatasan ruang hidup masyarakat, hingga dampak kerusakan setelahnya. Meski pemerintah menyatakan komitmen terhadap pelestarian kawasan yang dilindungi, fakta di lapangan menunjukkan realitas yang lebih kompleks.
Menurut pernyataan Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat lima izin usaha pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan untuk kegiatan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Namun, hingga kini hanya satu perusahaan yang benar-benar menjalankan operasi tambang, yakni PT GAG Nikel, anak usaha BUMN pertambangan, PT Aneka Tambang (ANTAM). Perusahaan ini mulai beroperasi sejak 2018 dengan dasar izin produksi yang diterbitkan setahun sebelumnya. Dengan total wilayah konsesi yang mencapai lebih dari 13 ribu hektare.
Yang menarik, Bahlil menyatakan bahwa ia tidak terlibat dalam proses penerbitan izin tersebut karena dilakukan sebelum ia menjabat dalam posisi strategis. Meski demikian, sebagai Menteri ESDM saat ini, langkah pengawasan dan koreksi terhadap izin-izin bermasalah tentu berada di ranahnya.
Ia menyebut bahwa PT GAG Nikel telah mengantongi Kontrak Karya Generasi VII dan menyelesaikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum memulai eksploitasi. Realitanya, kenyataan di lapangan menuntut lebih dari sekedar kelengkapan administratif.
Dalam menjawab desakan publik, pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara operasional tambang nikel miliki PT GAG Nikel. Langkah ini diambil untuk memberi waktu proses verifikasi lapangan, guna memastikan seluruh aktivitas tambang nikel tetap berada dalam koridor hukum, tidak merusak lingkungan serta merugikan masyarakat.
Bahlil juga menyatakan, bahwa lokasi tambang tidak berada di zona wisata utama seperti Piaynemo. Melainkan berjarak sekitar 30 hingga 40 kilometer dari kawasan tersebut. Namun, ekosistem merupakan sistem yang saling terhubung – antara laut, pesisir, dan daratan – jarak bukan satu-satunya faktor penentu risiko dari aktivitas pertambangan.
Langkah setelahnya, pemerintah akan menindaklanjuti hasil verifikasi lapangan sebagai dasar keputusan akhir terkait kelanjutan atau penghentian operasional. Sebab, perlu ditelaah kembali – apakah benar kendaraan listrik membawa maslahat nyata bagi masa depan atau justru menyimpan risiko yang belum sepenuhnya disadari?
Raja Ampat bukan sekedar gugusan pulau indah, apalagi tanah kosong; ia adalah rumah bagi kehidupan laut terkaya di dunia dan simbol warisan ekologis bangsa.
(NY)
Sumber:
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers-2/63070/aktivis-greenpeace-aksi-di-konferensi-nikel-internasional/
https://narasi.tv/read/narasi-daily/asal-usul-tambang-nikel-raja-ampat/2