Hutan Meratus
LingkariNews—Rencana pemerintah untuk menjadikan hutan lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel), sebagai Taman Nasional (TN) memicu gelombang penolakan. Komunitas masyarakat adat Dayak Meratus dan Dayak Pitap khawatir penetapan ini akan membatasi akses dan aktivitas yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Tak hanya masyarakat adat, sedikitnya 30 organisasi juga menyatakan penolakan. Mereka berpendapat, rencana tersebut berisiko mengusir masyarakat adat yang tinggal di kawasan itu. Masyarakat juga beresiko kehilangan akses terhadap sumber pangan, obat-obatan, serta ruang pelaksanaan ritual adat. Terlebih, rencana ini dibuat tanpa melibatkan masyarakat setempat.
Berdasarkan rancangan, Taman Nasional Meratus akan mencakup area seluas 119.779 hektare. Wilayah ini meliputi puluhan desa di sembilan kecamatan dan lima kabupaten yang saling terhubung. Diperkirakan, sekitar 20.328 jiwa atau 6.032 keluarga akan terdampak. Analisis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan menunjukkan, sebagian besar area yang masuk rencana TN Meratus merupakan wilayah hunian 146 komunitas adat dan lokasi usaha masyarakat.
Perubahan Status Dinilai Tidak Mendesak
Achmad Rafieq, Ketua Asosiasi Antropolog Indonesia (AAI), menilai bahwa jika alasan pembentukan fungsi taman nasional Meratus hanya berdasarkan pada aspek konservasi, maka kebijakan itu tidak relevan. Pasalnya, masyarakat adat disana telah melakukannya sejak dulu.
Masyarakat adat secara konsisten menolak keras aktivitas perusakan lingkungan, seperti pertambangan dan pembalakan liar. Mereka juga memiliki pantangan atau tabu yang berfungsi menjaga keseimbangan ekologi. “Melalui kearifan lokal, mereka menjaga kelestarian alam secara turun-temurun, jauh sebelum negara mengenal konsep tersebut,” kata Rafieq.
Analisis data Global Forest Watch memperkuat argumen ini. Sepanjang 2002–2024, wilayah di sekitar peta wacana Taman Nasional Meratus hanya kehilangan 1,9% tutupan pohon dari total pada tahun 2000. Fakta ini memunculkan pertanyaan: jika kerusakan minim dan masyarakat adat terbukti menjaga hutan, seberapa mendesak perubahan status tersebut?
Dalam kesempatan terpisah, Rudy Redhani, Livelihood Specialist Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia, memandang penetapan kawasan Taman Nasional Meratus dinilai tidak tepat untuk konteks Masyarakat Adat Dayak di Pegunungan Meratus. Udur, sapaan akrabnya, menilai model yang ideal adalah perpaduan konservasi berbasis akademik dengan konservasi berbasis tradisi. Ini adalah metode yang telah dipraktikkan secara turun-temurun.
“Dasar hukum pun seharusnya disusun berdasarkan konteks lokal, bukan mengadopsi mentah-mentah konsep national park dari Lembah Yosemite di Amerika Serikat yang jelas berbeda secara sosial, budaya, dan ekologi dengan Kalimantan,” ujarnya.
Perubahan Status TN Meratus Justru Berpotensi Merusak Alam
Basuki Budi Santoso, Staf Restorasi Friends of Nature, People, and Forest, menghimbau pemerintah agar belajar dari pengalaman sebelum menetapkan status TN Meratus. Pasalnya, penetapan taman nasional di berbagai daerah kerap merugikan masyarakat sekitar.
TN Tanjung Puting misalnya, yang belakangan mengeluarkan beberapa desa adat dari zona taman nasional. Padahal sebelumnya, desa-desa itu masuk dalam kawasan konservasi. Keputusan ini membuka peluang masuknya izin perusahaan sawit. Pemerintah pun gagal mencegah kebakaran 25 persen wilayah hutan dan lahan disana. Disana juga marak kegiatan ilegal seperti pertambangan emas dan perkebunan sawit.
“Saking ketatnya aturan, tak sembarang orang bisa masuk dan mengekspos kondisi di dalam kawasan. Banyak informasi akhirnya tidak pernah muncul ke permukaan,” kata Basuki. Kasus serupa terjadi di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, di mana habitat banteng rusak parah akibat ekspansi tambang batubara. Ia khawatir, kondisi serupa akan terulang di Pegunungan Meratus.
Kekhawatiran tersebut semakin beralasan mengingat Pegunungan Meratus telah dikepung puluhan izin usaha. Dari total 504.333 hektar kawasan Meratus, tercatat 165 izin usaha pertambangan masih aktif. “Tambang dan perkebunan sawit telah menggerus lebih dari 300.000 hektar tutupan lahan sejak 1990-an,” ungkapnya.
Basuki juga mempertanyakan arah wacana penetapan TN Meratus. Pasalnya dari 57 taman nasional yang ada, lebih dari 16 juta hektar belum mampu dikelola secara efektif. Menurutnya, penambahan kawasan baru justru berpotensi menambah masalah. Apalagi, ada masyarakat adat yang sudah lama bermukim di Pegunungan Meratus. “Sekarang, saya tidak melihat ada urgensinya,” tegasnya.
(KP/NY)