Pasca Longsor Tambang Gunung Kuda: Mengapa DLH Minta Wajib Reklamasi?

Kehutanan 01 Jul 2025 168 kali dibaca
Gambar Artikel Foto hanya ilustrasi, bukan TKP yang sebenarnya. Sumber: Canva

LingkariNews – Kawasan tambang galian Gunung Kuda, Cirebon, mengalami longsor pada 30 Mei. Kerusakan pasca aktivitas tambang dan longsor memicu pencabutan izin oleh pemerintah daerah.

Dinas Lingkungan Hidup (DLH)Kabupaten Cirebon meminta pihak terkait untuk mengupayakan percepatan reklamasi kawasan bekas tambang. 

Risiko yang Diabaikan Menimbulkan Bencana di Gunung Kuda

Pada 8 Januari 2025, menurut Kapolresta Cirebon, Sumarni, surat larangan aktivitas tambang sudah dikeluarkan oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) setempat. Larangan tersebut diperkuat dengan surat peringatan pada 19 Maret 2025.

Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas tambang yang belum mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Namun, larangan tersebut tidak diindahkan hingga akhirnya insiden longsor di Gunung Kuda terjadi.

Praktik tersebut menjadi peringatan bagi pelaku tambang ataupun pemerintah setempat, bahwa keselamatan dalam pengelolaan tambang menjadi yang utama.

Di Balik Longsor Gunung Kuda

Dalam kejadian longsor di Gunung Kuda, tercatat 21 orang tewas dan 4 korban hilang. Menurut kesaksian korban selamat, kejadian terjadi saat pekerja sedang melakukan bongkar muat batu dari alat berat wilayah galian tambang. 

Menyikapi hal tersebut (30/5/25), Dedi Mulyadi, selaku Gubernur Jawa Barat, mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) Koperasi Pondok Pesantren Al Azhariyah – selaku pemilik tambang – melalui SK Gubernur nomor 4056/KUKM.02.04.03/PEREK mengenai sanksi administratif pencabutan izin usaha.

Muhammad Wafid (31/5), selaku Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengungkapkan penyebab terjadinya longsor dipengaruhi 5 faktor, yaitu kemiringan lereng lebih dari 45 derajat, metode penambangan dengan teknik under cutting, kondisi geologi yang tidak stabil, terjadinya pelapukan pada batuan penyusun, serta lokasi tambang yang masuk ke dalam Zona Kerentanan Tanah Tinggi.

Mengapa DLH Wajibkan Reklamasi Galian Tambang Gunung Kuda?

Iwan Ridwan Hardiawan, Kepala DLH Kabupaten Cirebon, pada 5 Juni mengatakan bahwa reklamasi bukanlah sebuah pilihan, namun kewajiban pasti yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan pemegang izin tambang. Sebagaimana telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Sesuai ketetapan hukum, setiap pelaku usaha pertambangan berkewajiban penuh untuk melaksanakan reklamasi pasca tambang. Kewajiban ini umumnya telah diatur dalam dokumen rencana tambang yang disusun dan disahkan pada saat pengajuan izin. Pihak DLH menekankan bahwa hal tersebut – reklamasi – wajib diperhitungkan sejak awal, terkait rencana reklamasi dan dana terkait perlu disiapkan jauh hari.

Reklamasi sendiri bukan hanya soal menanam kembali pohon atau merapikan lahan, tapi tentang mengembalikan fungsi ekologis wilayah tersebut secara bertahap – menstabilkan tanah, mencegah erosi, dan memulihkan ekosistem. 

Bukan Hanya Nyawa, Longsor Gunung Kuda Berdampak pada Segala Aspek Kehidupan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan DLH, Iwan menjelaskan bahwa berdasarkan citra satelit, kawasan yang dulunya hijau kini sebagian besar telah gundul, yang berdampak signifikan pada kualitas lingkungan.

Menurut Iwan, salah satu dampak yang paling terlihat dari aktivitas tambang adalah menurunnya kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Hal tersebut tentunya akan memperbesar potensi terjadinya bencana seperti banjir dan tanah longsor.

Shifa Nurfauziah, menyebutkan dalam penelitiannya pada tahun 2019, bahwa praktik tambang batu di Gunung Kuda menimbulkan kerugian lingkungan, seperti perubahan lingkungan pemukiman yang menjadi gersang dan berdebu, degradasi sistem irigasi yang menyebabkan kekeringan dan berdampak pada stabilitas ekosistem kegiatan pertanian, dan kerusakan infrastruktur desa yang rusak akibat aktivitas truk pengangkut batu.

Selain itu, hasil riset yang diterbitkan Journal of Environmental and Science Education tahun 2024 oleh Dede Cahyati Sahrir, Margareta Rahayuningsih, dan Aditya Marjanti, menyatakan bahwa tambang di area tersebut, menyebabkan tercemarnya air di Sungai Cimanggu dan Jamblang. Kedua sungai tersebut menjadi tempat pembuangan limbar cair dari penambangan. Hal itu berimbas pada menurunnya kualitas air dan tanah, akibat limbah cair dan potongan padat yang mengendap di dasar sungai. 

Reklamasi Tidak Instan, Tapi Wajib Dilakukan

DLH Kabupaten Cirebon menegaskan bahwa upaya pemulihan fungsi lingkungan pasca aktivitas tambang tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan kajian komprehensif dari para ahli untuk menilai kerusakan yang terjadi. Sehingga belum dapat dipastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi ekologis Gunung Kuda seperti semula.

Selain itu, DLH menyerukan agar pemerintah provinsi Jawa Barat, sebagai otoritas utama dalam pengawasan, segera mengambil tindakan tegas terhadap para pengusaha tambang yang abai terhadap tanggung jawab reklamasi.

Meski DLH telah menyuarakan imbauan, pelaksanaan reklamasi tetap kembali pada komitmen masing-masing pihak. Di saat yang sama, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dan mengingatkan. Sebab, setiap lubang tambang yang dibiarkan tanpa tanggung jawab, cepat atau lambat, dapat berubah menjadi bencana.

Akankah praktik reklamasi kembali tertunda? Atau bahkan diabaikan? Apakah masalahnya ada pada aspek teknis, pembiayaan, atau minimnya pengawasan?

(NY)

Sumber:

https://banten.antaranews.com/berita/337245/cerita-korban-selamat-longsor-di-gunung-kuda-cirebon

https://www.tempo.co/politik/badan-geologi-sebut-faktor-penyebab-longsor-tambang-galian-gunung-kuda--1603223

https://bandung.bisnis.com/read/20250606/549/1882768/menagih-janji-pengusaha-untuk-reklamasi-tambang-gunung-kuda-cirebon

https://www.alinea.id/peristiwa/apa-yang-perlu-diketahui-dari-penambangan-di-gunung-kuda-b2npf9RDm