Petani beras panen | Sumber foto: Canva
LingkariNews–Isu beras premium oplosan yang mencuat belakangan ini mengejutkan banyak pihak. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengungkapkan praktik kecurangan ini menyebabkan kerugian masyarakat hingga Rp99,35 triliun.
Praktik tersebut mulai dicurigai ketika ditemukan kejanggalan pada harga beras dalam dua bulan terakhir. Saat harga gabah di tingkat petani menurun, harga beras yang dijual kepada masyarakat justru mengalami kenaikan.
“Harusnya kalau petani naik, baru bisa naik di tingkat konsumen,” pungkasnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras meningkat sebesar 14 persen atau lebih dari 3 juta ton.
“Ada surplus 3 juta ton lebih dari kebutuhan, tetapi harga naik. Sehingga kami mencoba mengecek di seluruh Indonesia, ada 10 provinsi penghasil beras terbesar,” ujarnya.
Bahaya Dibalik Beras Oplosan
Selain mengalami kerugian ekonomi, beras oplosan juga berdampak pada kesehatan masyarakat. Menurut Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M. Sc., Guru Besar, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM), praktik pengoplosan beras merupakan pelanggaran terhadap keamanan serta kualitas pangan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan terhadap pengawasan distribusi pangan, terutama pada tingkat produsen dan pasar tradisional.
Kekhawatiran terhadap keamanan dan kualitas pangan yang disoroti pada praktik ini, yaitu penggunaan bahan kimia seperti klorin atau pemutih, pewangi buatan, hingga parafin atau plastik. Penggunaan zat tersebut dipakai untuk menyamarkan warna beras yang kusam sehingga tampak lebih putih dan menarik.
Paparan berkepanjangan terhadap zat-zat tersebut memicu risiko gangguan kesehatan serius. Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM menerangkan paparan zat tersebut berpotensi sebabkan kanker, hingga kerusakan organ vital seperti hati dan ginjal. Selain bersifat toksik, zat tersebut juga dapat memicu peradangan sistemik dalam tubuh.
Melekatnya Budaya Pangan Beras
Di tengah polemik beras oplosan serta ketergantungan Indonesia pada beras, muncul pertanyaan mendasar: Mengapa Indonesia begitu lekat dengan beras sebagai sumber pangan pokok?
Rasanya bagi masyarakat, istilah belum benar-benar makan jika belum menyantap nasi, begitu sering diamini. Kebiasaan ini tentu tidak tumbuh begitu saja, melainkan hasil dari proses panjang yang dibentuk oleh kebijakan negara dan sejarah pertanian nasional.
Sejak Presiden Sukarno menyetujui gagasan Menteri Persediaan Makanan Rakyat, program Kasimo Plan mulai digencarkan pada tahun 1948. Program ini difokuskan pada intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian guna meningkatkan produksi pangan nasional.
Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Bahan Makanan (BAMA) pada tahun 1950. Tiga tahun kemudian, yayasan tersebut diubah menjadi Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) untuk mendukung pelaksanaan Kasimo Plan. Pada tahun 1956, pemerintah kembali membentuk Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) yang kelak berkembang menjadi Badan Urusan Logistik (BULOG).
Kepemimpinan di bawah Presiden Soeharto pun tetap melanjutkan swasembada beras melalui program Revolusi Hijau. Pada tahun 1974, Revolusi Hijau dilaksanakan secara masif, sehingga menyisakan sedikit ruang bagi pangan lokal lainnya. Akibatnya, beras semakin mendominasi konsumsi masyarakat. Dibuktikan dengan meningkatnya konsumsi beras nasional yang melonjak dari 53,5 persen menjadi 81,1 persen pada tahun 1981.
Bahkan pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, ketika stok bahan pangan menipis impor beras kerap menjadi solusi. Pola kebijakan ini berlanjut di era Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2015, ia menggagas program cetak sawah baru, yang kemudian dilanjutkan dengan program lumbung pangan (food estate) pada periode kedua masa pemerintahannya.
Mencermati kembali perjalanan panjang beras dalam sistem pangan Indonesia, bahwa kelekatan ini bukan semata soal kebiasaan, melainkan warisan konstruksi kebijakan yang telah berjalan puluhan tahun.
Namun, di tengah isu beras yang dioplos dan risiko yang ditimbulkannya, mungkin sudah saatnya kita memberi ruang bagi pertanyaan baru: apakah ada pilihan lain selain nasi, yang mungkin selama ini terabaikan?
Indonesia memiliki berbagai sumber pangan lokal yang beragam seperti jagung, sorgum, dan umbi-umbian. Mereka tumbuh di kondisi iklim sulit, namun tetap bergizi, dan tumbuh di banyak pelosok negeri.
Membuka kembali lembaran lama perihal pangan lokal bukan hanya soal kembali ke akar, tapi juga memberi ruang bagi keberagaman pangan. Hal tersebut dapat menjadi langkah bijak menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan, di tengah tantangan iklim, krisis harga, serta persoalan kualitas pangan.
(NY)
Sumber:
https://www.tempo.co/ekonomi/titik-awal-kasus-beras-oplosan-2027239
https://ugm.ac.id/id/berita/pakar-ugm-ungkap-bahaya-beras-oplosan-dari-perspektif-keamanan-pangan/
https://projectmultatuli.org/disuapi-dari-bayi-sampai-mati-dominasi-dan-obsesi-pada-nasi/