Jerman Buka Peluang Kerjasama Green Energy dengan Pabrik Gula di Indonesia

Gula 21 Agus 2025 136 kali dibaca
Gambar Artikel

LingkariNews—Nex Energy Systems Asia (NESA), perusahaan Jerman yang berfokus pada pengolahan limbah biomassa, membuka peluang kerjasama green energy dengan pabrik gula di Indonesia. Melalui teknologi yang dikembangkan, NESA mampu mengubah ampas tebu atau residu biomassa lain menjadi green gas dengan kualitas yang setara dengan batubara. 

Tawaran kerjasama ini membuka peluang untuk menciptakan alternatif energi yang berpotensi menggantikan fungsi batubara. Inovasi ini juga dapat membantu industri gula Indonesia untuk menekan biaya produksi dan memperkuat komitmen ramah lingkungan. Secara strategis, kerjasama ini dapat mendukung transisi energi di sektor industri gula dan biomassa Indonesia.

Skema Kerjasama Energi Hijau

Dalam kerjasama ini, NESA berencana memanfaatkan sumber lokal sebagai bahan baku produksi green energy. Ada dua skema yang disiapkan NESA. Pertama, memanfaatkan sampah perkotaan melalui kolaborasi dengan pemerintah. Kedua, menggunakan sampah non-perkotaan yang berasal langsung dari industri. Sumber bahan bakunya mencakup limbah pertanian dan perkebunan seperti bagasse, molase, ampas tebu, serta limbah sawit.

Nantinya, pabrik gula akan mengirimkan ampas tebu ke NESA untuk kemudian diolah menjadi syngas. Syngas tersebut kemudian dapat dialirkan ke pabrik gula untuk menggantikan batubara. Sementara produk lanjutannya bisa diolah menjadi Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang kemudian akan didistribusikan langsung ke Pertamina. NESA menyatakan kesiapannya membiayai sendiri pengadaan lahan, konstruksi, dan infrastruktur pengolahan.

Dalam proses produksinya, NESA akan menggunakan teknologi pirolisis reaktor tiga ruang KUG. Mekanisme ini tidak menggunakan incinerator, melainkan memanfaatkan pemanasan tidak langsung yang mengubah limbah menjadi energi. Skema ini memungkinkan konversi limbah lebih hemat energi, tidak menimbulkan polusi udara, sekaligus mendukung pengembangan green energy yang ramah lingkungan.

Skema Kerjasama Energi Hijau

Bagi industri gula Indonesia, peluang kerjasama ini menawarkan banyak manfaat strategis. Skema ini memungkinkan pabrik gula memperoleh pasokan energi hijau sepanjang tahun, meski ini  masih sangat bergantung pada volume ampas tebu yang tersedia. 

Ketergantungan pada batubara dan solar juga akan berkurang. Ini membuat emisi yang dihasilkan dapat diminimalisir, sekaligus membuka peluang penghasilan tambahan melalui perdagangan karbon. Lebih jauh, pabrik gula yang bekerjasama juga dapat memiliki fasilitas Sustainable Aviation Fuel (SAF) setelah 20 tahun.

Tantangan Pengelolaan Green Energy di Indonesia

Meskipun tawaran kerjasama dari Jerman menjanjikan prospek besar, inisiatif ini masih menghadapi sejumlah tantangan teknis dan ekonomis. Jumlah bagasse yang tersedia memang cukup untuk memenuhi kebutuhan syngas pabrik. Namun, jumlah tersebut belum mencukupi bagi NESA untuk memproduksi avtur. Terlebih, saat ini Indonesia sedang menjalani kemarau basah yang menurunkan rendemen dan hasil ampas tebu. 

Kekurangan itu dapat dipenuhi dengan memanfaatkan agro waste di sekitar pabrik gula, seperti bonggol jagung, daun, dan lainnya. Alternatif lain yang juga memungkinkan adalah dengan memanfaatkan batu bara atau solar sebagai pengganti ampas tebu. Namun, pilihan ini membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal.

Selain pasokan, kebutuhan gudang penyimpanan skala besar untuk menyimpan ampas tebu diperkirakan akan menjadi hambatan. Konsumsi daya listrik untuk produksi yang diperkirakan diperkirakan mencapai 45.000 MWh selama musim panen, juga dianggap kurang efisien. 

Isu kritikal lain yang menjadi perhatian adalah tentang kepastian harga. Para petani dan pelaku industri masih mempertanyakan seberapa besar harga jual ampas tebu ke NESA, serta harga beli syngas dari NESA ke pabrik. Tanpa formula harga yang adil, keberlanjutan skema green energy ini sulit tercapai.

Transisi, Regulasi, dan Kepastian Investasi

Dengan berbagai tantangan yang ada, transisi menuju green energy di industri gula tidak bisa dilakukan sekaligus. Yos Harmen, selaku perwakilan dari Menteri Investasi dan Hilirisasi, menekankan perlunya langkah bertahap di awal. Saat musim panen, limbah pertanian seperti daun, pucuk, dan batang tebu dapat dikumpulkan sebagai tambahan bahan baku diolah menjadi syngas. Kemudian ketika masuk masa produksi, syngas ini dipakai sebagai bahan bakar boiler, sedangkan bagasse dialirkan ke pengolahan syngas untuk menambah suplai energi. Tahapan ini menurut beliau sebaiknya dimulai secara bertahap, dari 20 persen, naik menjadi 30 persen, hingga akhirnya mencapai pemakaian penuh 100 persen syngas.

Sementara itu, Syukur Iwantoro dari Gabungan Produsen Gula Indonesia (GAPGINDO) menyatakan bahwa perusahaan gula di bawah GAPGINDO menyambut baik inovasi ini. Namun mereka menegaskan perlunya dukungan regulasi pemerintah berupa insentif dan kepastian hukum. Tanpa itu, kontribusi petani bisa terancam. 

Dari sisi investor, mereka membutuhkan adanya pilot project dalam waktu dekat agar ide  pengelolaan green energy ini tidak berhenti sebagai wacana. Teknologi pengolahan molasses menjadi syngas memang menantang. Tapi jika berhasil, inovasi ini akan memecahkan masalah oversupply sekaligus limbah B3 mosales yang saat ini menghantui industri gula Indonesia.

 

(KP/NY)