Gula Rafinasi Beredar di Pasar Tradisional, Pemerintah Hentikan Impor Gula Mentah

Gula 12 Sep 2025 229 kali dibaca
Gambar Artikel

LingkariNews—Badan Pangan Nasional (Bapanas) menemukan gula rafinasi, atau gula kristal mentah marak dijual di pasar tradisional. Temuan ini menjadi sorotan karena gula kristal mentah sejatinya hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman. Artinya, peredaran di tingkat ritel jelas melanggar ketentuan dan berpotensi merugikan konsumen maupun petani tebu lokal.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), M. Nur Khabsyin, menilai kebocoran gula rafinasi terjadi di berbagai titik. Mulai dari produsen, distributor, hingga koperasi pemasaran. Ia menghitung jumlah kebocoran mencapai 500 ribu ton.

“Nah ini kalau kebocoran rafinasi kita hitung ada 500.000 ton total nasional, karena kebutuhan rafinasi itu paling-paling hanya 2,7 juta ton. Tetapi impornya 3,4 juta ton. Jadi ini tidak masuk akal makanya banyak yang bocor,” ujarnya.

Harga Murah Jadi Pemicu Kebocoran

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengungkapkan bahwa salah satu faktor utama yang mendorong kebocoran gula rafinasi ke pasar tradisional adalah disparitas harga. Ia menyebut, harga jual gula kristal mentah lebih murah Rp2.000–Rp3.000 per kilogram dibandingkan gula konsumsi dari petani tebu lokal. Perbedaan harga yang signifikan ini membuat masyarakat cenderung memilih gula rafinasi ketimbang produk gula dari petani lokal.

Jika situasi ini dibiarkan, petani tebu dikhawatirkan akan terpukul karena hasil panen mereka sulit terserap pasar. “Kalau dia (rafinasi) dijual di pasar, gula kita (petani tebu) ini bisa nggak laku nih. Dan harusnya gula ini untuk industri. Industri adalah industri, walaupun dikonsumsi juga, tapi industri adalah industri. Gula konsumsi, gula konsumsi,” jelas Arief.

Impor Gula Rafinasi Dihentikan Sementara

Menanggapi temuan ini, pemerintah memutuskan menghentikan sementara impor gula rafinasi. Menurut Sudaryono, Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi petani tebu lokal yang semakin tertekan akibat harga jual gula industri jauh lebih rendah dibandingkan gula konsumsi. 

Beredarnya gula kristal merah di pasar tradisional selama ini membuat gula hasil gilingan petani sulit terserap pasar. Tercatat, hingga kini sekitar 100 ribu ton gula konsumsi petani menumpuk di gudang karena tidak laku. “Gula konsumsi yang diproduksi dari petani dan digiling di pabrik gula serapannya rendah. Ada 100 ribu ton yang macet, sehingga merugikan petani. Ini karena harga gula rafinasi jauh lebih murah daripada gula konsumsi,” ujar Sudaryono.

Sudaryono memaparkan bahwa realisasi impor gula rafinasi saat ini telah mencapai 70 persen dari total kuota 4 juta ton. Untuk mencegah kebocoran distribusi guula kristal merah lebih lanjut, pemerintah menahan sisa kuota agar tidak masuk ke Indonesia. “Yang sudah terealisasi sekarang 70% dari kuota impor raw sugar. Nah, keputusan hari ini, sisanya sementara kita hold dulu,” jelasnya.

Seiring dengan kebijakan impor tersebut, pemerintah juga memperketat pengawasan distribusi. Jika masih ditemukan gula rafinasi yang merembes ke pasar tradisional, Satgas Pangan akan diturunkan untuk menindak pelanggaran. Langkah ini diharapkan mampu menutup celah kebocoran sekaligus memulihkan harga jual gula konsumsi dari petani.

Pemerintah Berupaya Lakukan Perbaikan

Selain menghentikan impor gula rafinasi sementara, pemerintah juga berencana untuk memperbaiki tingkat rendemen gula dalam negeri. Pasalnya, selisih harga gula rafinasi dan gula lokal yang besar tidak lepas dari rendemen tebu luar negerri yang tinggi, yaitu mencapai 12 hingga 13 persen. Sementara itu, rendemen gula di Indonesia rata-rata hanya 7 sampai 8,5 persen. Berbagai upaya perbaikan yang akan dilakukan meliputi perbaikan area tanam, penggunaan benih unggul, dukungan pupuk, perawatan intensif, panen tepat waktu, hingga produksi pascapanen.

Dalam jangka panjang, pemerintah juga menyiapkan langkah untuk mengurangi impor gula secara bertahap hingga mencapai swasembada. “Target tahun ini adalah swasembada pangan untuk kebutuhan konsumsi. Industrinya nanti pelan-pelan kita ambil porsinya sehingga betul-betul bisa swasembada, baik untuk kebutuhan pangan maupun industri,” ungkap Sudaryono.

(KP/NY)