Gula Kristal Rafinasi Masuk Lumajang, Petani Lokal Khawatir Pasar Gula Merah Tergerus

Gula 01 Agus 2025 257 kali dibaca
Gambar Artikel Gula merah

LingkariNews—Isu beredarnya Gula Kristal Rafinasi (GKR) di Kabupaten Lumajang memunculkan kekhawatiran di kalangan petani lokal dan masyarakat. Menurut regulasi, GKR hanya boleh digunakan oleh industri makanan dan minuman besar. Itupun dengan syarat mereka sudah memiliki izin khusus. Namun di Lumajang, GKR diduga digunakan sebagai bahan baku pembuatan olahan gula merah secara bebas.

Berita ini menimbulkan keresahan dikalangan petani tebu rakyat karena bisa merusak pasar. Disisi lain, masyarakat juga khawatir dengan dampak kesehatan yang timbul ketika dikonsumsi.

Apakah Gula Merah dari Gula Rafinasi Aman untuk Dikonsumsi?

Sejatinya, GKR merupakan gula setengah matang yang aman saja jika dikonsumsi. Namun, bahan ini harus melalui proses pengolahan terlebih dulu sebelum bisa dikonsumsi. “GKR itu tidak apa-apa untuk dikonsumsi manusia, yang tidak boleh itu gula rafinasi dijual bebas karena masih belum matang,” ujar Kepala Bidang Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan Lumajang, drg Erwan Budisantoso. 

Permasalahan mencuat karena menurut drg Erwan, status UMKM yang menggunakan GKR sebagai bahan pembuatan gula merah di Lumajang hingga kini belum tercantum dalam KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia). Para pengusaha tersebut hanya mendapat pembinaan, bukan izin edar. Praktik ini memicu perdebatan soal pengawasan dan keamanan pangan.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Lumajang, Muhammad Ridha, menjelaskan bahwa Disperindag sebelumnya telah menerbitkan surat keterangan bagi 44 pelaku UMKM GKR yang tergabung dalam koperasi MUSA untuk mendistribusikan GKR sesuai ketentuan yang berlaku. Namun demikian, Ridha menegaskan bahwa distribusi seharusnya tidak dilakukan apabila persyaratan perizinan belum terpenuhi secara menyeluruh. Pihaknya mendorong setiap pelaku usaha untuk memenuhi aspek legalitas agar tata niaga GKR berjalan sesuai regulasi yang ditetapkan.

Ancaman Terhadap Petani Lokal

Dalam kesempatan terpisah, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Kabupaten Lumajang menyatakan keprihatinannya. Selain aspek keamanan pangan, masuknya GKR secara bebas juga dikhawatirkan akan menimbulkan tekanan ekonomi terhadap petani nira kelapa yang selama ini memproduksi gula merah secara tradisional. Alasannya karena dari sisi harga, gula rafinasi jauh lebih murah dibandingkan harga gula kristal lokal. 

Biaya tanam tebu yang tinggi serta rendahnya rendemen membuat petani lokal tidak bisa bersaing harga dengan gula dari olahan GKR. Dampaknya, produk petani lokal kalah saing dengan gula merah olahan GKR. Jika situasi ini terus dibiarkan, pabrik gula lokal akan kehilangan pasar. Petani juga jadi enggan menanam tebu. Lama kelamaan, pasokan bahan baku tebu dalam negeri berkurang sehingga industri gula nasional kekurangan suplai dan bergantung pada sumber luar. Dalam jangka panjang, ini menjadi ancaman serius bagi cita-cita Indonesia untuk swasembada gula dan membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Lebih lanjut, Plt Ketua APTR Kabupaten Lumajang, Edi Sudarsono, menegaskan bahwa GKR semestinya hanya digunakan dalam rantai industri makanan dan minuman, bukan membanjiri pasar tradisional. “Saya menyayangkan peredaran gula rafinasi yang tidak sesuai peruntukannya. Ini jelas merugikan petani tebu yang sudah bersusah payah menanam dan memanen, tapi hasil panennya tidak laku dengan harga layak,” ujarnya. 

Ia menambahkan bahwa sudah lebih dari satu bulan, gula hasil panen petani lokal belum juga diminati pembeli. Padahal, gula-gula tersebut dijual di harga HPP Rp14.500/kg. Edi mendesak agar peredaran GKR segera dihentikan demi menjaga keberlangsungan pasar gula merah dan kesejahteraan petani lokal.

Dampak Lingkungan Pengolahan GKR

Sementara itu, Ketua Perkumpulan Petani Pangan Nasional (P3N) DPD Jawa Timur, Iskhak Subagio SE, menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap penggunaan GKR dalam pembuatan gula merah olahan. Menurutnya  selain mengancam keberlangsungan ekonomi petani lokal, proses produksi GKR juga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan. 

Limbah hasil pngolahan GKR menjadi gula merah sering kali dibuang langsung ke saluran irigasi tanpa pengolahan. Ini menyebabkan kontaminasi pada areal persawahan di sekitarnya. Akibatnya, kesuburan tanah menurun drastis, tingkat keasaman (pH) tanah meningkat, dan produktivitas pertanian ikut terdampak. Iskhak berharap, penggunaan GKR oleh pelaku UKM harus memiliki kejelasan legalitas, termasuk perjanjian alokasi kebutuhan tahunan agar pengawasan bisa dilakukan secara tepat sasaran.

(KP/NY)