Area tambang di Raja Ampat | Sumber foto: Greenpeace
LingkariNews—Pemerintah telah memberikan izin kepada PT Gag Nikel untuk melanjutkan kembali aktivitas pertambangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Tercatat sejak Rabu (3/9/2025), PT Gag resmi beroperasi kembali setelah sempat diberhentikan sementara pada 5 Juni lalu. Saat itu, masyarakat dan berbagai aktivis lingkungan menyuarakan penolakan terhadap aktivitas pertambangan di Raja Ampat karena khawatir dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
PT Gag Nikel Indonesia merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang memiliki Kontrak Karya (KK) pertambangan. Berdasarkan izin dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, PT Gag Nikel memiliki hak operasi produksi tambang sejak 30 November 2017 hingga 30 November 2047. Tercatat, PT Gag mengelola area pertambangan seluas 13.136 hektare, termasuk sebagian di Raja Ampat.
Pemerintah Klaim Izin Tambang Sudah Lewati Evaluasi Ketat
Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, menegaskan bahwa izin operasi PT Gag Nikel kembali dibuka setelah melalui evaluasi lintas kementerian. Proses itu melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Dari hasil penilaian, PT Gag Nikel memperoleh kategori Hijau.
Dengan hasil tersebut, pemerintah menilai operasi tambang di Pulau Gag, Raja Ampat, sudah memenuhi syarat aman untuk dilanjutkan. “Hijau itu artinya dia sudah comply semua terhadap tata kelola lingkungan plus dia untuk pemberdayaan masyarakatnya ada,” ujar Tri.
Menteri Lingkungan Hidup (LH), Faisol Hanif Nurofiq, menambahkan bahwa dampak aktivitas tambang di Pulau Gag dapat dikendalikan melalui berbagai langkah mitigasi. Ia juga mengaku mendapat arahan khusus dari Presiden Prabowo Subianto agar pengawasan dilakukan lebih intensif. “Bapak Presiden juga meminta ke kami untuk melakukan intensifikasi pengawasan jadi pengawasan, yang biasanya dilakukan enam bulan, kami akan lakukan lebih rapat (sering), misalnya dua bulan sekali akan kami lakukan tinjauan di lapangan,” tegas Hanif.
Pemerintah juga berkomitmen memperketat untuk audit lingkungan di area tambang pulau Gag. Audit ini bertujuan agar dampak pertambangan dapat diukur, dimitigasi, dan diintegrasikan ke dalam dokumen persetujuan lingkungan yang sudah ada, sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat. Dengan mekanisme itu, pemerintah berharap operasional tambang berjalan sesuai standar keberlanjutan tanpa mengorbankan ekosistem Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai kawasan konservasi penting.
Aktivis Lingkungan Soroti Risiko Ekosistem dan Regulasi
Kabar beroperasinya kembali PT Gag Nikel di Pulau Gag segera memicu perbincangan luas. Publik dan kelompok pemerhati lingkungan melayangkan kritik keras atas kebijakan tersebut, salah satunya Greenpeace. Organisasi lingkungan internasional yang aktif mengadvokasi isu krisis iklim dan pelestarian alam itu menilai, izin baru ini mengancam keberlanjutan ekosistem laut Raja Ampat. Pasalnya, wilayah ini dikenal sebagai rumah bagi sekitar 75 persen spesies terumbu karang dunia.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, juga menegaskan bahwa keputusan pemerintah yang memberikan izin kepada PT Gag Nikel untuk melanjutkan kembali operasional tambang di Raja Ampat melanggar aturan hukum. Ia merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang melarang aktivitas tambang di pulau kecil. “Memberikan izin tambang untuk beroperasi lagi di wilayah ini menunjukkan keserakahan pemerintah dan korporasi, yang menempatkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia di bawah keuntungan ekstraktif jangka pendek,” ujarnya.
Gelombang penolakan publik juga semakin menguat. Hingga kini, tercatat sudah lebih dari 60.000 orang menandatangani petisi #SaveRajaAmpat yang diinisiasi Greenpeace. Petisi ini mendesak pemerintah mencabut izin operasi PT Gag Nikel, serta menyerukan penghentian rencana penambangan nikel maupun pembangunan smelter di kawasan Sorong dan Raja Ampat.
(KP/NY)