Embung Tirto Mulyo Tegalmulyo | Sumber foto: Klaten TV
LingkariNews—Krisis iklim global memunculkan ancaman pada ketahanan sumber daya air. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada 2022 lebih dari 2,2 miliar orang (27% dari populasi global) tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman, sementara 3,5 miliar lainnya (43% dari populasi global) tidak memiliki sistem sanitasi yang dikelola secara layak. Masalah ini diprediksi akan semakin parah pada tahun 2050, dimana diperkirakan sebanyak 9,5 miliar orang akan terdampak kekurangan air bersih.
Indonesia tidak lepas dari ancaman krisis air. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 407 kejadian kekeringan sepanjang Januari 2019 hingga Oktober 2024 akibat krisis iklim. Ancaman kekeringan turut menghantui desa-desa yang terletak di lereng Gunung Merapi, terutama saat musim kemarau panjang. Salah satunya Desa Tegalmulyo yang hanya berjarak sekitar empat kilometer dari puncak gunung. Karakteristik tanah yang didominasi pasir vulkanik membuat air hujan langsung meresap ke lapisan tanah dalam tanpa sempat tersimpan di permukaan.
Di tengah ancaman krisis kekeringan yang makin sering terjadi, Embung Tirta Mulia menjadi tumpuan utama ketersediaan air bersih bagi warga lereng Gunung Merapi. Embung dengan kedalaman lima meter ini mampu menampung hingga 12.000 meter kubik air hujan yang dialirkan dari lereng Merapi saat musim hujan tiba.
Saat musim kemarau panjang melanda, seperti yang terjadi pada 2023 lalu, embung ini menjadi sumber air bagi lebih dari 3.000 warga di tengah mengeringnya sejumlah sumber air lain akibat dampak krisis iklim. Warga memanfaatkan air di Embung Tirta Mulia sebagai sumber utama untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari memberi minum ternak hingga menyiram tanaman sayur-mayur. Meski sangat
membantu, kondisi air di sana masih belum layak untuk digunakan sebagai sumber air minum.
Berangkat dari kebutuhan warga akan ketersediaan air yang stabil di tengah ancaman krisis iklim global, Embung Tirta Mulya dibangun di Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Proyek ini merupakan hasil kerja sama antara tim riset Universitas Gadjah Mada (UGM) di bawah bimbingan Dr. Ir. Heru Indrayana, relawan Merapi, Pemerintah Kabupaten Klaten, dan CSR PT Tirta Investama (Danone Aqua), dengan dukungan izin dari Balai Taman Nasional Gunung Merapi Magelang.
Embung Tirta Mulya memiliki cekungan seluas 0,6 hektare dan didesain sebagai embung penampung air, yakni embung yang berfungsi untuk menampung air berlebih saat musim penghujan agar dapat dimanfaatkan saat musim kemarau. Struktur embung diperkuat dengan teknologi geo-membran yang diperkirakan mampu bertahan hingga 50–60 tahun.
Bangunannya dilengkapi pagar besi dan jalan setapak berpaving yang mengelilingi area embung, ditata dengan tanaman hias di sekelilingnya. Pada 22 Maret 2017, Embung Tirta Mulya diresmikan bertepatan dengan Hari Air Sedunia, menjadi simbol kolaborasi lintas sektor dalam menghadapi krisis iklim di kawasan rawan bencana.
Hingga kini, Embung Tirta Mulia tetap menjadi sumber air yang diandalkan warga Desa Tegalmulyo. Meski musim kemarau datang silih berganti, air di embung ini belum pernah benar-benar kering. Keberadaan embung telah menjadi penopang utama kebutuhan air, terutama saat sebagian besar sumber lain tak lagi mengalir.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, warga mulai merasakan penurunan signifikan pada volume air yang tersimpan. Stok air di dalam embung terpantau menipis akibat kekeringan berkepanjangan yang melanda kawasan lereng Merapi. Situasi ini menjadi peringatan dini bagi warga dan pemangku kepentingan akan urgensi pengelolaan air yang lebih adaptif terhadap dampak krisis iklim, yang kini terasa semakin nyata dalam keseharian masyarakat.
(KP/NY)
Sumber:
https://gis.bnpb.go.id/databencana/tabel/pencarian.php
https://www.who.int/teams/environment-climate-change-and-health/water-sanitation-and-health/monitoring-and-evidence/wash-monitoring