Terjadi panic buying pangan beras di sejumlah daerah | Sumber foto: Canva
LingkariNews–Beras premium mengalami kelangkaan, masyarakat mengeluhkan sulitnya mendapatkan beras di Toko Ritel. Padahal, beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia hari ini. Kok, bisa langka?
Penyebab Beras Premium Langka
Menurut Khudori, Pengamat Pertanian, Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), kelangkaan yang terjadi disebakan oleh naiknya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan tekanan dari Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang membuat kondisi tidak menentu di lapangan.
Tercatat dalam tiga tahun terakhir, telah terjadi lonjakan HPP gabah sebesar 47 persen secara keseluruhan. Namun, kenaikan tersebt tidak sejalan dengan penyesuaian Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Kenaikan HET beras medium itu sebelum ada keputusan kemarin itu 30 persen setelah ada kemarin jadi 38 persen, kenaikan HET beras premium itu 16 persen kecil sekali. Nggak imbang,” jelas Khudori dalam diskusi publik bersama Ombudsman, pada Selasa (26/8/2025).
“Kenaikan antara HET beras premium, medium, dan juga HPP gabah, itu tidak proporsional. Di level budidaya, petani sangat diuntungkan dengan itu. Tapi, di hilir, para pelaku terhimpit,” tambahnya.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), Tulus Abadi turut menyampaikan bahwa kelangkaan bukan disebabkan karena kurangnya produksi, melainkan adanya gangguan distribusi imbas tekanan hukum dan ketidakpastian regulasi pasca isu beras oplosan.
Baca juga: Menilik Isu Beras Oplosan dan Dominasi Nasi dalam Sistem Pangan Indonesia
Kalau Beras Langka, Emang Nggak Ada Pangan Alternatif?
Ketersediaan beras premium yang menipis imbas penarikan produk secara masal oleh ritel-ritel besar, serta penahanan stok oleh produsen dan distributor memicu panic buying di sejumlah daerah. Hal ini menjadi pertanyaan di tengah beragamnya pangan Indonesia. Seakan-akan Indonesia tidak memiliki alternatif lain selain beras. Kenapa bisa gitu, ya?
Sekitar tahun 1500 SM padi pertama kali masuk ke Indonesia melalui India atau Indocina. Lalu, sejak zaman kemerdekaan, pemerintah memfokuskan pembangunan di sektor pertanian. Selanjutnya, pemerintah menetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada periode 1969–1974 sebagai upaya mencapai swasembada beras.
Sebetulnya pada masa itu, sebagian besar masyarakat Indonesia telah akrab dengan keberagaman pangan pokok yang ada. Makanan pokok seperti sorgum, tiwul, jagung, ubi, singkong, sagu, jelai dan masih banyak lagi di masing-masing daerah.
Namun, beras kemudian diposisikan menjadi simbol kemakmuran. Dalam perkembangannya, beras bahkan dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh pemerintah, yang pada akhirnya memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Makanan pokok lokal pun perlahan ditinggalkan dan tergantikan oleh nasi.
Sejak saat itu, ketergantungan terhadap nasi mulai terbentuk, menjadikannya makanan utama yang mendominasi konsumsi pangan masyarakat Indonesia hingga hari ini.
Ada Sorgum, Warisan Pangan Lokal Terdahulu
Dicatatkan dalam buku Sorgum, Benih Leluhur untuk Masa Depan, karya Ahmad Arif, pada tahun 1982 ketika Kabupaten Pati mengalami kekeringan, warga mengonsumsi jagung atau sorgum sebagai pangan pengganti beras.
Berbeda dengan kondisi di wilayah timur Indonesia, seperti di Flores yang beriklim kering dan panas, sorgum justru menjadi andalan masyarakat ketika panen padi gagal. Tanaman ini mampu bertahan di lahan yang minim air dan tetap tumbuh meski cuaca ekstrem, dikala tanaman pangan lainnya cenderung sulit bertahan.
Realitas ini menunjukkan bahwa masyrakat Indonesia sejatinya memiliki kemampuan adaptif dalam menjaga ketahanan pangan. Namun, fokus kebijakan pemerintah yang tersentralisasi pada beras justru membuat sistem pangan lokal semakin rentan dan kurang beragam.
Potensi Sorgum Gantikan Ketergantungan Pangan Beras
Badan Pangan Nasional aktif mendorong upaya diversifikasi pangan melalui kemitraan strategis dengan berbagai pihak dalam pengembangan sorgum, yang diproyeksikan sebagai alternatif pangan sekaligus sumber energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Menurut Andriko Noto Susanto, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Kemanan Pangan, Badan Pangan Nasional, menyampaikan bahwa sorgum memiliki potensi besar menjadi solusi ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.
Dalam acara penandatanganan Nota Kesepahaman antara Badan Pangan Nasional dan sejumlah mitra strategis di Bandung tahun lalu, disampaikan bahwa sorgum telah dipilih sebagai salah satu fokus utama karena kemampuannya beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrem, seperti tanah kering dan cuaca panas. Sorgum juga dinilai kaya nutrisi serta dapat diolah menjadi berbagai produk pangan berkualitas.
Ketergantungan Indonesia terhadap beras sebagai pangan pokok disebut masih menjadi tantangan bagi ketahanan pangan nasional. Melalui pengembangan sorgum, diharapkan dapat tercipta alternatif pangan yang lebih beragam dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Sorgum dipandang memiliki potensi signifikan dalam memperkuat ketahanan pangan nasional karena kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi lahan. Selain itu, tanaman ini juga berpeluang dimanfaatkan sebagai sumber energi baru terbarukan, seperti bioetanol, biogas, dan biomassa, yang lebih ramah lingkungan. Pemanfaatan ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam mendorong diversifikasi energi guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
(NY)
Sumber:
https://www.inews.id/news/nasional/pengamat-ungkap-penyebab-stok-beras-langka-hingga-harga-melonjak
https://mediaindonesia.com/ekonomi/804737/beras-premium-langka-di-toko-ritel-pemerintah-terus-jalin-komunikasi-dengan-produsen#goog_rewarded
https://badanpangan.go.id/blog/post/sinergi-multisektor-badan-pangan-nasional-galang-kerja-sama-strategis-jadikan-sorgum-andalan-ketahanan-pangan
https://mojok.co/terminal/kenapa-ya-nasi-jadi-makanan-pokok-orang-indonesia/
https://projectmultatuli.org/disuapi-dari-bayi-sampai-mati-dominasi-dan-obsesi-pada-nasi/