2,7 Juta Ha Kebun Karet Akan Diubah Jadi Perkebunan Sawit, Solusi Ekonomi atau Bahaya Ekologi?

Ekonomi Pertanian 16 Jul 2025 218 kali dibaca
Gambar Artikel Perkebunan sawit

LingkariNewsKementerian Pertanian (Kementan) tengah menggagas langkah ambisius untuk mengonversi 2,7 juta hektar kebun karet tak produktif menjadi perkebunan sawit. Rencana ini merupakan bagian dari strategi nasional untuk mempercepat hilirisasi komoditas sawit guna memperkuat ketahanan energi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Gagasan tersebut dibahas secara tertutup dalam rapat yang berlangsung pada 28–29 Juni 2025 di kediaman pribadi Mentan Andi Amran Sulaiman, dan dihadiri oleh pejabat eselon I serta sejumlah mitra teknis terkait.

Dalam pernyataannya, Mentan Amran menegaskan bahwa perkebunan sawit tidak semata tentang produksi CPO (crude palm oil), melainkan menyangkut masa depan energi nasional. “Sawit bukan sekadar CPO (crude palm oil). Ini tentang masa depan energi kita. Potensi biodiesel Indonesia sangat besar untuk mendukung kemandirian energi nasional,” kata Mentan Amran. 

Pemerintah sendiri telah menargetkan pembangunan 20 pabrik biodiesel dalam tiga tahun ke depan. Langkah ini diharapkan mampu membuka ribuan lapangan kerja melalui penyerapan Hari Orang Kerja (HOK). 

Dalam pelaksanaannya nanti, generasi muda akan dilibatkan melalui skema pengelolaan maksimal lima hektar lahan per petani milenial. Mereka akan dibantu dengan bibit unggul dan teknologi dari PT Perkebunan Nusantara. Meski strategi hilirisasi juga menyasar komoditas lain seperti kakao, kelapa, dan kopi, perkebunan sawit tetap menjadi prioritas utama karena kontribusinya yang signifikan terhadap industri energi nasional.

Risiko Ekologis di Balik Potensi Ekonomi yang Menggiurkan

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, memperingatkan bahwa ekspansi lahan sawit di Indonesia hampir melampaui daya tampung lingkungan. Berdasarkan riset bersama 13 organisasi masyarakat sipil, ambang batas nasional perkebunan sawit Indonesia maksimal adalah 18,15 juta hektar. Namun, data Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementan menunjukkan tutupan sawit pada 2023 telah mencapai 17,3 juta hektar. Artinya, jika rencana konversi 2,7 juta lahan karet terealisasi, maka akan melebihi batas maksimum daya tampung sawit dan berpotensi menimbulkan bencana ekologis

Disamping itu, ekspansi lahan sawit lebih lanjut juga berpotensi memicu degradasi tanah, penurunan kualitas air, dan kehilangan keanekaragaman hayati yang lebih parah. Populasi orangutan Borneo misalnya, yang menurut penelitian IUCN pada tahun 2019 turun 25% dalam satu dekade terakhir.

Sementara itu, Edy Irwansyah, Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra Utara, menilai konversi lahan karet ke perkebunan sawit berpotensi menimbulkan krisis ekonomi dan sosial. Ia mengingatkan bahwa pabrik pengolahan karet remah terancam tutup permanen akibat menipisnya pasokan bahan baku dan menyebabkan putusnya rantai pasok dari petani ke industri hilir. Saat ini saja, setidaknya 10 pabrik pengolahan karet di Sumut sudah tutup.

Sebagai imbasnya, ratusan ribu pekerja dan pelaku usaha kecil yang bergantung pada industri karet berisiko kehilangan mata pencaharian. Padahal, tidak semua lahan cocok untuk sawit. Lebih lanjut, Edy menjelaskan bahwa industri ban nasional terancam krisis bahan baku dan harus impor yang berdampak pada turunnya daya saing produk lokal. 

Secara global, posisi Indonesia sebagai eksportir karet alam terbesar kedua di dunia pun dipertaruhkan. Alih-alih mengekspor, Indonesia justru berisiko menjadi konsumen karet. Terakhir, Edy menegaskan bahwa konversi ini bisa merusak rantai pasok karet Sumut yang selama ini melibatkan lebih dari 170.000 petani, puluhan pabrik, serta sektor ekspor yang mendukung ekonomi daerah.

Perbaiki Tata Kelola, Bukan Perluas Perkebunan Sawit

Seiring meningkatnya kekhawatiran atas dampak konversi kebun karet menjadi perkebunan sawit, Sawit Watch mendesak pemerintah agar lebih fokus pada perbaikan tata kelola serta peningkatan produktivitas lahan yang sudah ada, alih-alih memperluas lahan sawit. Pembukaan lahan baru dinilai tidak hanya mengorbankan komoditas penting lain seperti karet, tetapi juga memperburuk ketimpangan penguasaan lahan dan memicu deforestasi tersembunyi. Deforestasi tersembunyi adalah hilangnya tutupan hutan atau ekosistem penting yang tidak tercatat secara resmi. Hal ini terjadi karena konversi dilakukan di lahan yang secara legal sudah berstatus perkebunan, meskipun secara ekologis masih memiliki nilai konservasi tinggi.

Berdasarkan data The TreeMap, tercatat bahwa pada tahun 2023 ekspansi lahan sawit menyebabkan hilangnya 30.000 hektar area hutan. Angka ini melonjak 36 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Yang menjadi perhatian, sepertiga dari deforestasi tersebut terjadi di lahan gambut yang kaya karbon. Kondisi ini berisiko melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar dan mempercepat krisis iklim.

Dari segi ekonomi, banyak kebun karet yang dianggap tidak produktif justru menjadi sumber penghidupan bagi petani kecil. Sebagian di antaranya bahkan berada di wilayah rawan konflik atau kawasan dengan nilai ekologis tinggi. Edy Irwansyah dari Gapkindo menyebut bahwa solusi terbaik adalah melakukan peremajaan kebun karet, bukan malah mengalihfungsikannya menjadi sawit.

“Solusi terbaik adalah peremajaan kebun karet yang sudah tidak produktif, bukan menggantinya dengan perkebunan sawit,” Ujarnya.

 

(KP/NY) 

Sumber: 

https://mongabay.co.id/2025/07/11/para-pihak-ingatkan-risiko-konversi-27-juta-hektar-karet-jadi-sawit/